Pemandangan Alam Perbukitan dan Hutan Hijau Disekelilingnya Masih Asri
Negara kita adalah negara yang kaya. Bukan hanya kaya akan kekayaan alam, tetapi juga kaya akan budaya dan wisata. Indonesia Timur salah satunya, di sini banyak sekali terdapat potensi wisata yang beragam. Salah satunya adalah Wae Rebo, sebuah desa eksotis yang terletak di Pulau Flores. Desa Wae Rebo berada di barat daya kota Ruteng, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur.
Desa Wae Rebo di Flores yang terletak pada ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut ini layaknya sebuah surga yang berada di atas awan. Perlu perjuangan untuk bisa mencapainya, namun apa yang didapat ketika sampai ke lokasi sebanding dengan perjalanan yang dilalui. Lokasi dari Wae Rebo terbilang sangat terpencil dan terisolasi karena terletak di balik hutan. Anda harus menembus hutan sepanjang 9 km untuk bisa mencapai desa terdekat dengan Wae Rebo. Wae Rebo memang indah dan menakjubkan, diselimuti oleh kabut tipis di seluruh perkampungan membuat Wae Rebo pantas mendapatkan julukan ‘kampung diatas awan’.
Desa ini menawarkan kesempatan bagi para wisatawan untuk melihat sisi otentik perumahan Manggarai dan mengalami kehidupan sehari-hari masyarakat setempat. Di desa ini, Anda berkesempatan melihat mbaru niang, yang merupakan rumah adat tradisional berbentuk kerucut melingkar dengan arsitektur yang sangat unik. Atap besar terbuat dari ijuk yang hampir menyentuh tanah, mirip dengan honai di Papua, didukung dengan sebuah tiang kayu pusat. Didalamnya terdapat perapian yang terletak di tengah rumah. Pemandangan alam perbukitan dan hutan hijau yang masih asri, dengan diselimuti kabut yang kadang tersibak oleh hembusan angin sehingga memperlihatkan tujuh buah Mbaru Niang yang berdiri dengan anggunnya.
Bentuk bangunan Mbaru Niang yang berbentuk kerucut, melingkar dan berpusat di tengah diyakini melambangkan persaudaraan yang tidak pernah putus di Wae Rebo dengan leluhur mereka sebagai titik pusatnya. Pada kenyataannya memang warga Wae Rebo tidak melupakan leluhurnya seperti yang tertuang dalam ungkapan “neka hemong kuni agu kalo” yang bermakna “jangan lupakan tanah kelahiran”. Selain ingin mengetahui tentang Mbaru Niang, suasana Wae Rebo yang terisolir dari hiruk pikuk kota juga menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan.
Struktur Mbaru Niang cukup tinggi, sekitar 15 meter, yang keseluruhannya ditutup dengan ijuk. Didalamnya memiliki lima tingkat yang terbuat dari kayu worok dan bambu yang menggunakan rotan untuk mengikat konstruksi sebagai ganti paku. Desa Wae Rebo merupakan sebuah tempat yang bersejarah sehingga menjadi situs warisan budaya dunia oleh UNESCO pada 2012 yang lalu. Masing-masing tingkat memiliki nama dan fungsinya masing-masing.
Tingkat pertama disebut lutur yang berarti tenda, lutur berfungsi sebagai tempat tinggal dan berkumpul dengan keluarga. Tingkat kedua disebut lobo, sebuah loteng yang berfungsi menyimpan bahan makanan dan barang-barang keperluan sehari-hari. Tingkat ketiga disebut lentar, yang berfungsi untuk menyimpan benih-benih tanaman pangan, seperti jagung, padi dan kacang-kacangan. Tingkat keempat dinamakan lempa rae yang merupakan tempat yang disediakan untuk menyimpan stok pangan jika terjadi kekeringan. Tingkat terakhir dinamakan hekang kode yang berfungsi untuk menyimpan langkar, sebuah anyaman bambu berberntuk persegi untuk menyimpan sesajian yang akan digunakan untuk persembahan kepada leluhur.
Kearifan lokal masyarakat pedalaman yang masih bergantung dari alam ini juga merupakan suguhan tersendiri ketika berkunjung ke kampung di atas awan ini. Salah satu kearifan lokal yang masih mereka pegang adalah menjaga kelestarian Mbaru Niang. Di Wae Rebo sendiri hanya boleh ada tujuh buah Mbaru Niang tidak kurang dan tidak lebih. Satu rumah Mbaru Niang bisa ditempati enam sampai delapan keluarga. Kopi dan kain cura adalah salah satu usaha yang menjadi penghasilan utama dari penduduk kampung Wae Rebo.
Kopi yang dijadikan komoditi adalah jenis arabika. Sedangkan kain cura menjadi kerajinan kain tenun yang dilakukan oleh para wanita di Wae Rebo. Kain cura ini memiliki motif khas berwarna cerah. Untuk Anda yang memang tertarik untuk mengoleksi kain tenun dari beberapa daerah di Indonesia, kain cura ini bisa menjadi pilihan tersendiri. Bila mau, Anda juga bisa merasakan bermalam di Niang Mbaru, menikmati makan malam dan bersosialisasi dengan masyarakat Wae Rebo secara langsung. Selama bermalam di sana, Anda akan tidur beralaskan tikar yang dianyam dari daun pandan lengkap dengan kehangatan keluarga yang tinggal di sana.
Untuk bisa sampai ke lokasi memang tidak mudah karena letaknya yang di atas gunung. Perlu tenaga ekstra untuk melakukan perjalanan kaki selama kurang lebih 3 sampai dengan 4 jam. Tergantung kondisi fisik karena trekking menuju desa Wae Rebo mendaki sejauh 7 km. Pengunjung yang ingin ke Desa Wae Rebo di Flores harus mulai dari Ruteng. Jika dari Denpasar (Bali), bisa langsung menuju Ruteng lewat jalur udara. Apabila tidak ada penerbangan menuju Ruteng, anda dapat menggunakan bus atau travel dari Labuan Bajo, ibu kota Kabupaten Manggarai Barat yang memakan waktu sekitar 6 jam. Setelah tiba di Ruteng, perjalanan dilanjutkan menuju Desa Denge atau Dintor selama kurang lebih 2 jam yang merupakan desa terakhir yang dapat diakses dengan kendaraan.
Untuk ke Denge dapat menggunakan ojek atau truk kayu, biasanya dapat ditemukan di Terminal Mena yang beroperasi dari jam 09.00 sampai 10.00. Jika ingin lebih hemat, gunakan truk kayu karena hanya dikenakan tarif Rp 30.000 per orang. Hanya saja angkutan ini tidak setiap hari beroperasi. Selanjutnya perjalanan ditempuh dengan berjalan kaki menuju Desa Wae Rebo selama 4-5 jam. Apabila harus menggunakan ojek dari Ruteng untuk bisa sampai ke Desa Denge, maka biaya yang dikeluarkan lebih mahal, bisa mencapai Rp 150.000-200.000 sekali antar.
Untuk fasilitas, di Desa Denge ada sebuah home stay yang bisa digunakan untuk menginap. Tidak jauh dari home stay ada pusat informasi dan perpustakaan. Selain pemandangannya yang indah, kita akan disambut dengan keramahan penduduknya saat tiba di Desa Wae Rebo. Namun sangat disayangkan, kenyataannya tempat seindah ini masih asing bagi masyarakat Indonesia padahal sangat terkenal di mancanegara.
Anda tidak diijinkan memberikan komentar. Silahkan login.