CariContactTwitterFacebookYouTube

Pencarian

Kamu di sini Beranda Informasi Tempat Wisata Nusa Tenggara Timur Kampung Bena Kemegahan Desa Adat di Nusa Tenggara Timur

Kampung Bena Kemegahan Desa Adat di Nusa Tenggara Timur

Kampung Bena Nusa Tenggara Timur
Kampung Bena Nusa Tenggara Timur

Salah Satu Warisan Budaya Indonesia yang Masih Bisa Dinikmati Sampai Hari Ini

Kampung Bena merupakan sebuah objek wisata yang terletak di Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur. Kampung Bena masih terletak di kawasan Bajawa yang memang terkenal sebagai tempat dimana banyak ditemukannya peninggalan dari masa megalitikum, kampung ini tepatnya terletak di Desa Tiwuriwu, Kecamatan Aimere, Kabupaten Ngada sekitar 19 Km dari Bajawa.

Anda akan melihat sisa-sisa zaman dahulu berlalu ketika menjumpai monumen batu besar untuk leluhur yang merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Desa megalitik Bena adalah salah satu warisan budaya Indonesia yang kaya dan yang masih bisa dinikmati sampai hari ini. Selain daya tarik wisata budaya dari masa lampau, kampung megalith yang diperkirakan sudah ada sejak 1.200 tahun yang lalu ini terletak di puncak bukit sehingga memiliki pemandangan alam yang indah serta berhawa sejuk.

Bentuk Kampung Bena memanjang dari Utara ke Selatan, hanya memiliki satu pintu masuk dari bagian utara, sedangkan bagian selatan merupakan ujung desa yang terletak di tepi tebing terjal. Terletak di kaki gunung Inerie, membuat kampung yang terkenal dengan rumah adat Bena ini tidak hanya menawarkan keunikan rumah dan tradisinya, tapi juga pemandangan gunung Inerie yang menakjubkan mata setiap orang yang melihatnya.

Bagi warga Bena, mereka percaya bahwa di puncak Gunung Inerie bersemayam Dewa Zeta yang melindungi mereka. Gunung Inerie setinggi 2.245 m dpl adalah gunung dengan hutan lebat di sebelah baratnya saja. Sementara itu, di lereng bagian selatannya berupa perkebunan. Bagi warga Bena Gunung Inerie dianggap sebagai hak mama (Ibu) dan Gunung Surulaki dianggap sebagai hak bapa (Ayah). Petualang dan pendaki berdatangan ke Gunung Inerie saat musim kemarau (antara Juni hingga Agustus). Dari atas puncaknya terlihat pemandangan indah dari segala arah termasuk kota Bajawa di sebelah barat laut. Di bagian selatan terlihat birunya Laut Sawu yang menempel rapat di kaki gunung ini.

Kampung ini memiliki sekitar 45 buah rumah tradisional yang saling berhadap-hadapan. Mata pencaharian penduduk kaum laki-laki adalah berladang dan kaum perempuan adalah menenun untuk dijual ke para wisatawan ataupun ke pelosok kota Bajawa Ngada. Para wisatawan yang datang pun tidak hanya dari lokal juga dari Manca negara seperti dari Belanda, Jepang, Belgia, dan negara Eropa lainnya. Waktu seolah berhenti ketika anda berkunjung ke tempat ini, bangunan-bangunan yang ada konon masih sama dengan bangunan pada masa megalih lebih dari 1000 tahun lalu, demikian pula dengan kehidupan dan budaya masyarakatnya yang masih menjaga kearifan lokal dan hidup berbaur dengan alam.

Terdapat 9 klan yang tinggal disini yaitu Dizi, Dizi Azi, Wahtu, Deru Lalulewa, Deru Solamae, Ngada, Khopa dan Ago. Setiap klan hidup pada tingkat yang berbeda dari desa berteras, dengan klan Bena di tengahnya. Hal ini karena Bena dianggap klan tertua dan pendiri desa, maka menjadi alasan desa tersebut bernama Kampung Bena. Mereka berkomunikasi satu sama lain dalam bahasa Nga'dha. Kebanyakan penduduk desa beragama Katolik. Namun demikian, mereka masih mengikuti kepercayaan kuno yaitu pemujaan leluhur, ritual dan tradisi. Bena mengikuti kekerabatan mengikuti garis ibu, di mana seorang pria yang menikahi luar klannya akan menjadi milik klan istrinya.

Rumah pusat untuk pria disebut sakalobo, yang dikenali dengan patung laki-laki memegang parang dan tombak ditempatkan di atas rumah. Sedangkan rumah bagi perempuan disebut sakapu'u. Anda juga akan melihat banyak rumah dihiasi dengan tanduk kerbau, dan rahang dan taring babi hutan, yang menunjukkan status sosial pemiliknya. Rahang dan taring babi hutan merupakan persembahan yang diberikan oleh masing-masing klan melalui upacara adat.

Struktur Ngadhu berdiri di depan setiap kluster rumah, yang melambangkan nenek moyang laki-laki. Sebuah Ngadhu adalah miniatur rumah dinaungi oleh payung yang berdiri di atas pilar berukir. Akarnya harus memiliki dua cabang yang telah yang ditanam pada upacara yang melibatkan darah babi atau ayam. Ngadhu harus berdiri di atas tiang yang kuat yang terbuat dari kayu keras khusus dan harus cukup kuat untuk menyandang berat kepala hewan yang akan ditawarkan pada upacara.

Sama seperti Ngadhu berdiri di depan setiap rumah tradisional, Bagha adalah simbol nenek moyang perempuan. Bhaga adalah rumah tradisional kecil yang siap untuk menerima mempelai pria dari gadis-gadis dari desa yang dikawinkan dengan orang luar. Setiap bhaga memiliki ukiran sedangkan di atapnya senjata yang dimaksudkan untuk melindungi rumah dari roh-roh jahat. Bhaga juga berfungsi sebagai motivator hidup untuk anak-anak dan sebagai pengingat bahwa di mana pun mereka berkeliaran mereka harus selalu diingat bahwa ini adalah desa asal mereka. Karena ada 9 klan di Bena, desa memiliki sembilan pasang Ngadhu dan Bagha.

Perkampungan Bena dibuka untuk para wisatawan mulai pukul 08.00 hingga pukul 17.00 wita. Sebenarnya tidak ada tiket masuk untuk bisa melihat dari dekat bagaimana bangunan rumah adat Bena, tapi warga Kampung Bena akan meminta Anda untuk mengisi buku tamu dan memberikan donasi seikhlasnya pada kotak yang disediakan. Anda tidak bisa menemukan penginapan apalagi hotel di sekitar perkampungan Rumah Adat Bena karena memang lokasinya yang terpencil di bawah kaki gunung.

Para wisatawan biasanya lebih memilih menginap di kota Bajawa yang karena selain banyak hotel atau penginapan, jarak tempuh ke kampung Bena juga tidak jauh. Di lokasi tersebut juga tidak terdapat warung makan dan hanya ada warung kelontong yang menjajakan makanan dan minuman ringan. Jadi sebelum berangkat ke sana, pastikan Anda membawa bekal yang cukup. Perjalanan menuju ke Kampung Bena bisa ditempuh dengan menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat. Medannya pun cukup halus, akan tetapi jalannya berkelok-kelok dan naik turun.

Jika Anda berangkat dari Kupang, maka setelah turun di Bandara Soa, Anda bisa melanjutkan perjalanan dengan menggunakan travel ke kota Bajawa dengan tarif kurang lebih 50 ribu. Setelah sampai di kota Bajawa, Anda bisa melanjutkan perjalanan dengan menggunakan jasa ojek dengan waktu tempuh kurang lebih setengah jam. Jika dari kota Ende, maka Anda bisa naik travel atau bis jurusan Ende-Bajawa dan turun di Mataloko. Selanjutnya Anda bisa menggunakan jasa ojek untuk sampai di Kampung Bena.

Sudah dibaca 8396 kali

Komentar

  • Tidak ada komentar untuk artikel ini.
 
Mohon tunggu...

Anda tidak diijinkan memberikan komentar. Silahkan login.

Login

RSS/Atom - Social Networks

Open Search

Calendar