Bentuknya seperti kerucut dililit dengan daun lontar muda
Wilayah pesisir pantai utara (pantura) Kecamatan Paciran memang menjadi “kiblat” wisata Lamongan. Selain tempat-tempat wisata modern dan wisata religi, daerah yang udaranya terik ini juga memberikan suguhan wisata kuliner. Salah satu kuliner khasnya yang unik dan enak adalah Jumbreg. Terdengar aneh memang ketika kita pertama kali mendengar kata Jumbreg. Belum banyak yang mengenal Jumbreg, padahal Jumbreg sering dijadikan buah tangan saat berkunjung ke Paciran, Lamongan. Jajanan unik ini terbuat dari tepung beras dicampur santan dan gula Jawa, diadoni hingga kalis, dibungkus daun siwalan, dibentuk mirip corong, kemudian dikukus hingga matang.
Di daerah Paciran, deretan pohon siwalan yang tumbuh subur di sepanjang jalan memang banyak dijumpai. Dari pohon itulah buahnya dimanfaatkan oleh warga sekitar untuk diolah menjadi berbagai penganan. Jumbreg sendiri memang makanan khas Paciran. Di sepanjang Jalan Raya Daendels di barat desa, banyak warung-warung kecil beratap daun rumbia yang menjual Jumbreg ini. biasanya Jumbreg dijual bareng es dawet, siwalan, tahu dan tempe goreng, serta beberapa makanan lain lagi.
Salah satu pembuat Jumbreg yang sudah sangat terkenal di daerah ini adalah Bu Karmini. Meski saat ini sudah bukan Bu Karmini sendiri yang membuatnya, tapi cita rasa Jumbreg buatan home industry ini tidak pernah berubah dari masa ke masa. Saat ini Jumbreg Bu Karmini diolah oleh anak dan menantunya yang bernama Mbak Izzah dan Mbak Sulis. Mereka merupakan generasi kedua pembuat Jumbreg kondang ini.
Di dalam sebuah dapur sederhana yang cukup luas, Mbak Izzah dan Mbak Sulis membuat Jumbreg dengan cara yang masih sederhana. Proses pembuatan ini dimulai saat kebanyakan orang masih tertidur pulas, yakni pukul 01.00 WIB. Awalnya tepung beras diaduk bersama dengan santan, proses pengadukan ini kurang lebih memakan waktu 25 menit. Pada saat yang sama, sirup gula siwalan direbus dengan sedikit air di dalam tungku kayu bakar. Sekali lagi proses pembuatan Jumbreg ini masih sangat sederhana. Ini merupakan proses paling lama dalam tahapan membuat jumbrek, kira-kira memakan waktu satu jam hingga sirup ini mendidih.
Sirup yang digunakan di sini sepenuhnya sirup gula merah siwalan. Ini yang membedakan Jumbreg Bu Karmini dengan Jumbreg-Jumbreg lain. Kebanyakan dari Jumbreg-Jumbregyang lain memakai sirup gula aren, kadang dicampur gula pasir. Tentu rasanya jadi berbeda dengan Jumbreg yang asli. Tingkat keawetannya juga berbeda.
Setelah mendidih, sirup gula merah siawalan dituangkan pada adonan tepung beras dan santan yang sudah tercampur tadi. Lalu ditambah sedikit tepung tapioka untuk menambah teksur kenyal, kemudian semua adonan di aduk hingga rata. Inilah adonan Jumbreg yang siap dimasukkan ke cetakan. Biasanya saat musim nangka, Mbak Izzah dan Mbak Sulis menambahkan potongan kecil-kecil nangka ke dalam adonan ini sebagai penambah rasa.
Adonan ini kemudian dituang ke dalam daun lontar (siwalan) yang telah dibentuk menjadi kerucut, menyerupai terompet kecil, panjangnya kira-kira 25 cm. Unik memang, mungkin kita akan sulit menemui yang seperti ini di makanan lain. Saat dimasukkan ke dalam bungkus daun lontar tadi, adonan Jumbreg Bu Karmini masih cukup encer. Jika “terompet” daun lontar tadi tidak dibuat dengan benar, maka adonan ini akan bocor. Ini juga yang membedakan Jumbreg Bu Karmini dengan Jumbreg-Jumbreg lain, yang biasanya saat dimasukan ke dalam bungkus daun lontar sudah berupa adonan yang kental. Ini nantinya akan berpengaruh pada tekstur dan kekenyalan Jumbreg saat sudah jadi.
Saat semua adonan sudah dimasukkan ke daun lontar, Jumbreg kemudian dikukus dalam sebuah kukusaan kuno yang ditaruh di dandang yang juga kuno. Kukusan dan dandang kuno ini sama seperti yang digunakan untuk menanak nasi zaman dulu. Kurang lebih butuh waktu 30 menit hingga jumbrek benar-benar matang. Dalam 30 menit tersebut dandang harus dibuka-tutup agar adonannya tidak menggelembung.
Jumbrek Bu Karmini rasanya manis dan harum, berbeda dengan Jumbreg yang memakai gula aren atau dengan campuran gula pasir yang aroma harumnya kurang terasa. Selain itu Jumbrek yang memakai gula aren dan gula pasir kurang tahan lama. Jumbrek gula siwalan mampu bertahan hingga dua hari, sementara jumbrek gula campuran hanya mampu bertahan tidak lebih dari satu hari.
Karena adonan Jumbreg Bu Karmini dituang saat masih encer, teksturnya juga kenyal dan lembut, serta tidak nempel di gigi saat dimakan. Ini berbeda dengan Jumbreg lain yang adonannya dituang saat sudah kental. Saat matang, Jumbreg ini umumnya lebih keras dan lengket di gigi saat dimakan. Aroma Jumbreg juga harum, yang berasal dari aroma daun lontar yang digunakan sebagai bungkusnya. Karena Jumbreg Jumbreg bisa tahan hingga dua hari, makanan yang satu ini cocok untuk oleh-oleh setelah berwisata ke WBL, Mazola, Goa Maharani, makam Sunan Drajat, atau makam Sunan Sendang Duwur. Harganya Rp 2.000 saja per biji dan biasanya dijual dalam bungkusan berisi sepuluh buah. Jadi satu bungkus harganya Rp 20.000,-. Ini memang sedikit lebih mahal daripada Jumbreg-Jumbreg gula campuran.
Sekadar saran, apabila Anda ingin membawa pulang Jumbreg asli yang enak dan awet, Anda bisa datang dan membeli langsung di rumah Bu Karmini kapan saja, karena Mbak Izzah dan Mbak Sulis tiap hari membuat Jumbreg. Letak rumah di Jalan Daendels, Desa Paciran, sekitar 2,5 km sebelah barat WBL. Di sana ada gang kecil yang disebut dengan Sorasem (dari bahasa Jawa “Ngisor Asem” yang artinya “Di Bawah Pohon Asam” meski kini pohon asamnya sudah tidak ada). Dari gang sempit tersebut, masuk kira-kira 100 m ke utara. Tanya saja warga setempat, mereka pasti tahu yang Anda cari.
Tapi jika Anda tidak mau repot-repot mencari gang kecil tersebut, Anda bisa langsung datang ke satu warung pinggir jalan, kira-kira 3 km sebelah barat WBL (0,5 km sebelah barat Gang Sorasem). Letaknya tepat di seberang Apotek Karang Asem. Ini merupakan warung milik Bu Karmini, jadi Jumbreg-Jumbreg di sini lansung didatangkan dari rumah Bu Karmini.